Google
 

* Nama ku Bambang *


Sebuah Nama

Dalam literatur ilmu budaya, konsep identitas dan subyektifitas tak dapat dipisahkan. Kita bisa memandang subyektifitas mengacu pada kondisi sebagai pribadi dan proses dimana kita menjadi seorang pribadi, yaitu sebagai subyek dalam interaksi sosial yang membentuk "diri kita bagi orang lain" (identitas sosial), maupun "diri kita bagi diri sendiri" (identitas personal).

Sebuah 'nama', hadir sebagai representasi identitas tersebut -- personal sekaligus sosial. Secara sosial, 'nama' diasosiasikan dengan standar-standar yang secara kolektif akan membentuk peran dalam komunitas-komunitas tertentu.
Secara personal, 'nama', mengandung konsepsi tentang pribadi penyandangnya, yakni sebagai individu yang memiliki integritas: didukung oleh kapasitas nalar, kesadaran dan tindakan, yang semua itu berpusat pada inti diri -- esensi pribadi.

Namun perlu diingat bahwa identitas tak lahir begitu saja dari ruang vakum ahistoris, melainkan berasal dari proses akulturasi yang sepenuhnya berlangsung secara kultural. dalam hal ini, 'nama' sebagai identitas seorang subyek, diperantarai oleh subyek-subyek lain teraap nilai-nilai, makna dan simbol-simbol yang berlaku dimana sang subyek berada.

Disini, nama 'Bambang' hadir tepat di tengah budaya Jawa -- terlepas dari bagaimanapun kita hendak memahami arti "Jawa" itu. Pada lokus inilah kemudian berlangsung sebuah proses "menjadi Bambang", yang maknanya selalu berubah menurut kondisi dan refleksi 'kontemporer' dari budaya Jawa itu sendiri.

Signifikansi nama 'Bambang' kemudian menguat ketika "Jawa" menyerap budaya Wayang menjadi salah satu komponennya. Nama 'Bambang' -- yang tak ada dalam pakem Mahabarata dan Ramayana versi 'asli' India itu -- pun lalu melekat kuat sebagai personifikasi dari "sifat-sifat kaum muda berjiwa ksatria", yang ditampilkan melalui diri tokoh-tokoh penting dalam Wayang versi Jawa.

Sofistikasi budaya Jawa sejak akhir abad 15, telah membentuk dan meniupkan alam pikiran "tertentu" diantara masyarakat Jawa era tersebut -- secara sedemikian rupa -- sehingga nama 'Bambang' tampaknya kemudian dipahami dengan sedikit "hiperbolis", bahkan barangkali -- atau seringkali?? -- terkesan "larger than live" alias "lebih indah dari warna aslinya"... :)
Tentu saja, gambaran tersebut agak berlebihan. Kiranya, "narsisme" pun -- harus -- ada batasnya... ;D

Bagaimanapun, setiap pribadi yang menjadi subyek, yaitu kita semua "sebagai Bambang", telah mempunyai peran masing-masing dalam kehidupan yang kita jalani; entah peran itu dimainkan bersama introspeksi diri dan kerendahan hati, ataupun didramatisasi dengan lakon-lakon lupa-diri yang tak menginjak bumi.

By the way, anyway, busway... Kira-kira,, akankah kelak Tuhan menanyakan 'nama' kita ?? Ataukah pilihan-pilihan tindakan yang kita lakukan ??

Hei, Bambang ... bercerminlah pada hatimu !!