Google
 

Senin, 25 November 2013

Standar penilai


Draft Standar Pengendalian Mutu (SPM) KJPP

(Tanggapan dan saran mohon dapat disampaikan melalui email: fkjpp.mappi@gmail.com)
.
Standar Pengendalian Mutu (SPM)
.
Umum
.
Standar ini menentukan persyaratan minimal pengendalian mutu pada Kantor Jasa PenilaiPublik (selanjutnya disebut KJPP) untuk:
1.
Meningkatkan secara konsisten kemampuan dalam menyediakan layanan jasa KJPP yang memenuhi Kode Etik Penilaian Indonesia (KEPI), Standar Penilaian Indonesia (SPI) dan Peraturan perundang-undangan yang berlaku,
2.
 Meningkatkan profesionalisme melalui penerapan SPM yang efektif termasuk penyempurnaan secara berkesinambungan.

Aplikasi

Semua ketentuan pada standar ini berlaku umum untuk KJPP dan bertujuan agar dapat diterapkan pada seluruh KJPP.

Pernyataan Kebijakan Umum

Tujuan KJPP dalam menetapkan dan menerapkan Standar Pengendalian Mutu adalah untuk memberikan keyakinan bahwa : 
1. 
KJPP dan personilnya mematuhi KEPI, SPI dan Peraturan perundang-undangan yang berlaku, 
2. 
Laporan yang diterbitkan oleh KJPP telah sesuai dengan Lingkup Penugasan dan Bidang Jasa yang dimiliki oleh KJPP. 

KJPP wajib menetapkan, menerapkan dan memelihara secara berkesinambungan suatu Standar Pengendalian Mutu yang mencakup unsur-unsur sebagai berikut: 
1. Tanggung jawab kepemimpinan KJPP atas mutu.
2. Ketentuan Etik Profesi yang berlaku.
3. Penerimaan dan keberlanjutan penugasan dari klien dan perikatan.
4. Sumber daya manusia.
5. Pelaksanaan penugasan.
6. Penelaahan mutu.
7. Dokumentasi. 

KJPP memiliki perangkat minimal untuk pengelolaan data dan informasi dalam pelaksanaan Standar Pengendalian Mutu KJPP. 

KJPP memiliki perangkat minimal dan jangka waktu tertentu untuk melakukan reviu terhadap sistem pengelolaan mutu yang sedang berjalan.


 1.1
KJPP menetapkan kebijakan dan prosedur yang dirancang untuk mendukung budaya internal yang mengakui pentingnya mutu dalam melaksanakan penugasan. 
 1.2
KJPP mendokumentasikan kebijakan dan prosedur pengendalian mutu yang ditetapkan dan mensosialisasikan kepada Personil pada KJPP. KJPP dapat menyediakan media, perangkat, atau alat bantu pendukung untuk proses komunikasi tersebut. 
 1.3
KJPP menetapkan cara kerja dan dokumentasi terkait konsultasi dan pengambilan keputusan untuk hal-hal yang bersifat penting yang memiliki dampak terhadap KJPP dan aktivitas profesi. Dokumentasi tersebut dapat ditelusuri ulang untuk kepentingan penelaahan mutu. 
 1.4
KJPP sekurang-kurangnya memiliki dua jenjang fungsi pengendali mutu dalam pelaksanaan penilaian. Proses pengendalian mutu tersebut didokumentasikan secara tertulis dan dapat ditelusuri ulang untuk kepentingan penelaahan mutu. 
 1.5
KJPP menetapkan secara jelas dan tertulis fungsi, kewenangan dan tanggung jawab dari Personil, dan memastikan setiap Personil tersebut bertanggung jawab atas kewenangan yang diberikan. Dalam hal kewenangan tersebut dapat dilimpahkan maka wajib didokumentasikan secara tertulis. 


2.1 
KJPP dalam menjalankan kegiatannya wajib berpedoman pada KEPI yang ditetapkan oleh Asosiasi Profesi Penilai yang diakui Pemerintah dalam hal ini Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI). 
2.2
KJPP wajib menetapkan kebijakan dan prosedur yang dirancang untuk memberikan keyakinan memadai bahwa KJPP telah mematuhi ketentuan KEPI. 
2.3 
KJPP wajib membuat pakta integritas untuk ditandatangani dan dilaksanakan oleh seluruh personil, dan dapat diperbarui secara periodik. 
2.4 
KJPP wajib mengidentifikasi, mendokumentasi dan mensosialisasikan potensi ketidakberpihakan dan adanya benturan kepentingan terhadap Lingkup Penugasan sehingga dapat mengelola risiko penugasan karena hal tersebut (1). 
2.5 
Data dan dokumen terkait dengan lingkup penugasan, implementasi dan laporan penilaian adalah bersifat rahasia dan terbatas. 


 3.1
Pemimpin/Pemimpin Rekan dan atau Rekan KJPP bertanggung jawab dalam menerima, menolak dan atau melanjutkan penugasan dari Klien dan Perikatan. 
 3.2
Penerimaan, Penolakan dan atau Keberlanjutan Penugasan dari Klien terdokumentasi secara tertulis dan memuat informasi seperti: pertimbangan penerimaan, penolakan dan atau melanjutkan penugasan Klien, evaluasi penugasan Klien, ada tidaknya benturan kepentingan dengan Klien, dan lain-lain. 
 3.3
KJPP dapat menerima Penugasan Dari Klien yang memiliki benturan kepentingan sepanjang resikonya dapat dicegah dan tidak bertentangan dengan KEPI, SPI dan Peraturan perundang-undangan yang berlaku. 
 3.4
KJPP dapat melakukan pemutusan Penugasan Dari Klien jika terdapat risiko dalam penugasan dan/atau terdapat benturan kepentingan dan didokumentasikan secara tertulis. 
 3.5
Perikatan dengan Klien dilakukan secara tertulis, dan memuat informasi paling sedikit sesuai dengan lingkup penugasan sebagaimana diatur dalam Standar Penilaian Indonesia. Korespondensi dengan Klien didokumentasikan. 


4.1 
Penetapan jumlah dan kriteria minimal pegawai KJPP mengacu pada Peraturan perundang-undangan yang berlaku. 
4.2
KJPP wajib membuat surat pengangkatan pegawai tetap. 
4.3 
KJPP memberikan kesempatan kepada Personil untuk mengembangkan kompetensi diri, melalui pelatihan internal dan/atau eksternal, dan menyediakan sumber informasi yang memadai terkait dengan pengembangan kompetensi diri dari Personil, antara lain: literatur, standar profesi dan lain-lain. 
4.4 
KJPP dapat menetapkan standar evaluasi kinerja Personil berdasarkan prestasi atau kriteria lainnya yang ditetapkan di internal, sesuai dengan ukuran organisasi dari KJPP. Standar evaluasi kinerja personil dapat berdampak pada pengembangan karir personil yang bersangkutan seperti pemberian kompensasi tambahan, promosi jabatan beserta tunjangannya, serta manfaat lain untuk kepentingan personil. 
4.5 
KJPP wajib menetapkan standar kualifikasi untuk jabatan tertentu terutama yang terkait pada lingkup penugasan sesuai dengan SPI. 
4.6 
KJPP dapat menetapkan jumlah personil berdasarkan lingkup penugasan, termasuk didalamnya penggunaan tenaga ahli yang diperbantukan. Penggunaan tenaga ahli mengacu pada KEPI, SPI dan peraturan perundangundangan berlaku. 
4.7 
KJPP wajib memberikan sanksi kepada personilnya untuk penegakan disiplin dalam rangka pemeliharaan mutu. Kriteria dan tingkat pemberian sanksi ditetapkan secara tertulis dan disosialisasikan kepada personil. 
4.8 
KJPP dapat memberikan penghargaan kepada personil sebagai apreasiasi terhadap kedisiplinan pengendalian mutu secara periodik dan sesuai dengan kebijakan internal KJPP. 
4.9 
KJPP dapat bekerjasama dengan KJPP lain dalam menggunakan tenaga penilai dan atau tenaga ahli, sepanjang ada kerjasama tertulis antar KJPP bersangkutan. 


5.1 
KJPP menetapkan pelaksanaan penugasan sebagai rangkaian kegiatan yang terdiri dari Perencanaan, Implementasi dan Pelaporan dengan mengacu pada SPI. Seluruh rangkaian kegiatan tersebut terdokumentasi dan dapat ditelusuri ulang.
5.2 
Perencanaan pelaksanaan penugasan dilakukan untuk menetapkan alokasi sumberdaya, jadwal kerja dan keahlian yang dibutuhkan untuk penugasan. Komunikasi, konsultasi dan pengambilan keputusan terkait dengan perencanaan ini didokumentasikan. 
5.3 
KJPP menetapkan Personil yang akan ditugaskan. Komunikasi dan konsultasi antara Personil terkait dengan pekerjaan dan penugasan didokumentasikan secara tertulis pada kertas kerja, dan diparaf atau ditandatangani atau dalam bentuk persetujuan lainnya. 
5.4 
KJPP menetapkan kertas kerja, dan alat bantu kerja yang digunakan untuk pelaksanaan penugasan. 
5.5 
KJPP wajib menyediakan perangkat penyeliaan (supervisi) yang memadai untuk memastikan laporan hasil penugasan telah sesuai dengan lingkup penugasan, Implementasi dan pelaporan hasil penugasan. 
5.6 
KJPP dapat menyelenggarakan rapat internal atau dengan pihak Klien jika dianggap perlu, dalam hal terdapat perbedaan pendapat untuk sumber data, analisis dan pendekatan. Perbedaan pendapat serta penetapan keputusan terhadap hal tersebut didokumentasikan, dan hanya dapat dilakukan sebelum laporan hasil penugasan diterbitkan. 
5.7 
Penilai Publik menandatangani laporan hasil penugasan setelah melalui proses penyeliaan (supervisi). 
5.8 
KJPP menetapkan secara internal tingkat pengendalian mutu pelaksanaan penugasan sesuai dengan lingkup penugasan yang ditangani, berdasarkan ukuran bisnis, tingkat risiko, atau kriteria lainnya, sekurang-kurangnya sesuai dengan SPM ini. 


6.1 
Secara periodik KJPP melakukan penelaahan mutu terhadap perikatan, perencanaan, implementasi dan laporan hasil penugasan untuk memastikan proses pengendalian mutu serta kepatuhan terhadap ketentuan internal, KEPI, SPI, dan ketentuan lainnya yang ditetapkan MAPPI serta peraturan perundangundangan berlaku telah dilaksanakan. 
6.2 
Penelaahan mutu dilakukan untuk mendapatkan umpan balik, masukan atau perbaikan berkelanjutan atas proses kerja dan kompetensi dari personil yang melakukan penugasan. Penelaahan mutu juga memastikan bahwa personil telah memahami penugasan dan standar pengendalian mutu yang ditetapkan oleh KJPP, serta tidak ada kesalahan berulang dalam pelaksanaan penugasan. 
6.3 
Ruang lingkup penelaahan mutu terbatas untuk memastikan proses pengendalian mutu dan penyeliaan telah berjalan dengan konsisten sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 
6.4 
KJPP menetapkan kriteria petugas yang bertanggung jawab untuk melakukan penelaahan mutu dengan pertimbangan antara lain keahlian dan pengalaman. 
6.5 
KJPP dapat menetapkan standar proses penelaahan mutu yang akan dilakukan dan kertas kerja penalaahan yang digunakan. 
6.6 
Hasil penelaahan mutu digunakan KJPP sebagai acuan internal untuk perbaikan berkelanjutan atas standar pengendalian mutu. 



7.1 
Personil KJPP wajib menandatangani pernyataan kerahasiaan dokumen, data dan informasi dari Klien sebagai bentuk pengamanan terhadap dokumen, data dan informasi kepada pihak eksternal. 
7.2 
Dokumen dan informasi terkait dengan perikatan, perencanaan, implementasi dan laporan hasil penugasan adalah sangat rahasia dan terbatas; sehingga akses terhadap hal tersebut oleh pihak eksternal wajib mendapatkan persetujuan tertulis dari Pimpinan KJPP. 
7.3 
Akses terhadap dokumen, data dan informasi terkait oleh pihak internal dilakukan secara terbatas dan didokumentasikan. 
7.4 
KJPP mengarsipkan seluruh dokumen terkait dengan laporan hasil penugasan yang telah diterbitkan meliputi dokumen perikatan, lingkup penugasan, implementasi dan laporan hasil penugasan termasuk didalamnya draft laporan dan dokumentasi terkait lainya dan memiliki nomor referensi. 
7.5 
Batas waktu pengelolaan dokumen, data dan informasi terkait dengan penugasan mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.  
7.6 
Laporan hasil penelaahan mutu terhadap penugasan adalah dokumen yang terbatas pada internal. 


** Penilai , Penilaian , Appraisal **

Kamis, 27 Juni 2013

Appraisal, Profesi Penilai yang Perlu Tahu Hukum

Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI) punya pekerjaan rumah yang terbilang berkelanjutan. Perkumpulan ini harus menyiapkan banyak appraisal –sebutan untuk profesi penilai—karena kebutuhan dan permintaan masyarakat kian meningkat. Sayang, peningkatan permintaan itu tak dibarengi pendidikan dan pelatihan yang terstruktur. Selama ini lebih banyak mengandalkan pelatihan informal yang dilakukan swasta. Pemerintah dinilai belum melihat profesi ini sebagai peluang di masa mendatang.

Padahal, usaha jasa penilai sudah eksis puluhan tahun. Sejak 1970-an, jasa penilai banyak dimanfaatkan untuk kepentingan investasi yang kala itu mulai marak. Pelan tapi pasti, profesi ini berkembang. Pemerintah juga melihat pentingnya mengatur dan memberikan kepastian hukum kepada profesi penilai. Maka, lahirlah Keputusan Menteri Perdagangan No. 161/VI/77 yang mengatur izin usaha jasa penilai di Indonesia. Sesuai dengan kebutuhan, appraisal mengalami dinamika. Pada 2008 lalu Menteri Keuangan menerbitkan Peraturan No. 125/PMK.01/2008 tentang Jasa Penilai Publik. Dalam beleid terakhir ini, usaha jasa penilai yang berbentuk perseroan terbatas diubah menjadi Kantor Jasa Penilai Publik. Appraisal lebih dianggap sebagai pemberi jasa.

Profesi penilai dibutuhkan antara lain oleh perusahaan-perusahaan yang hendak go publik, atau oleh perusahaan dalam rangka perhitungan Nilai Jual Objek Pajak Bumi dan Bangunan. Di kawasan perkotaan dimana industri properti begitu menggiurkan, jasa seorang appraisal sangat dibutuhkan. Lantaran pentingnya peran appraisal itu pula, Bapepam menerbitkan Peraturan No. VIII.C.4 tentang Pedoman Penilaian dan Penyajian Laporan Penilaian Properti di Pasar Modal. Appraisal khusus properti –disebut Penilai Properti—penting memahami kontrak penugasan.
  
Butuh pendidikan
Dengan kata lain, appraisal bukan hanya perlu memahami tugas-tugas teknisnya, tetapi juga perlu tahu aturan yang berlaku. Ia juga butuh pemahaman kontrak yang benar, sekaligus memahami teknis hukum bidang dimana ia memberikan jasa. Seyogianya, appraisal bisa mendapatkan hal itu melalui pendidikan dan pelatihan. Kebutuhan akan pendidikan tu juga dirasakan Hamid Yusuf. “Kami minta profesi penilai mendapat tempat di dunia pendidikan. Selama ini program sarjana untuk itu tidak ada,” ujar Ketua MAPPI itu kepada hukumonline.

Hamid beralasan, Indonesia membutuhkan lebih dari sepuluh ribu orang tenaga appraisal. Saat ini, kita hanya memiliki sekitar tiga ribu lima ratus orang. Itu pun yang aktif hanya sekitar dua ribu orang. Plus penilai yang diangkat Menteri Keuangan sekitar 1300 orang, dan penilai dari Ditjen Pajak sekitar 200-an orang. “Totalnya hanya segitu,” keluh Hamid.

Jumlah tadi, tegas Hamid, jelas tak mencukupi. Apalagi dengan kondisi alam Indonesia yang terbentang begitu luas. Faktanya, mayoritas appraisal berada di Pulau Jawa. Padahal aset negara yang perlu dinilai tersebar di luar Pulau Jawa, dan jumlahnya lebih besar. Kondisi ini juga cukup merisaukan MAPPI.

Sebab, tak ada yang bisa memastikan nilai kekayaan Indonesia. “Akibatnya, kita tidak tahu jika ada yang hilang. Kita juga tidak tahu potensi nilai ekonomis hutan kita dan berapa yang sudah berkurang”. Hamid mengajak kita untuk merenungkan rumusan Konstitusi bahwa tanah, air, dan kekayaan alam yang terkandung akan diberikan untuk kesejahteraan rakyat. “Tapi apa ukurannya, tidak ada yang tahu”.

Hamid berpendapat kurangnya tenaga appraisal antara lain karena tidak memiliki basis di perguruan tinggi. Ia berharap kalangan kampus bisa memberi tempat bagi profesi penilai sebagaimana layaknya profesi notaris dan akuntan. Kalau diberi tempat bisa jadi minat masyarakat pun akan tinggi.

Lantaran tak ada basis pendidikan formal, pendidikan calon appraisal diambil alih oleh MAPPI. MAPPI membuat sendiri sistim pendidikan, silabus, dan ujian sertifikasi. “Kami diberi amanah oleh Menkeu untuk sertifikasi ini,” ujarnya.

 Daerah juga perlu
Tenaga apparisal bukan hanya dibutuhkan di Ibukota. Menurut Hamid, daerah pun seharusnya membutuhkan. Misalnya untuk perhitungan nilai pajak daerah yang akan masuk sebagai Pendapatan Asli Daerah (PAD). Cuma, faktanya, tak banyak daerah yang memiliki appraisal. Hanya sedikit penilai yang kompeten di daerah untuk menentukan Nilai Jual Objek Pajak.

Walhasil, sejumlah daerah menggunakan data yang tidak valid. Bayangkan, jika lebih dari 500 kabupaten/kota memiliki appraisal yang kompeten. Perhitungan Nilai Jual Objek Pajak di daerah bersangkutan bisa lebih optimal.

Melihat kebutuhan itu, Hamid kembali mengungkapkan harapannya tentang pembukaan program pendidikan strata satu yang diakui Pemerintah. Usulan itu bukan tidak pernah disampaikan. Tetapi Pemerintah berdalih ilmu apparisal sudah dipelajari dalam berbagai disiplin ilmu.

Direktur Akademik Direktorat Pendidikan Tinggu Kementerian Pendidikan Nasional, Ilah Sailah, menegaskan pelajaran penilaian sudah diberikan pada banyak program studi tingkat sarjana. “Sudah ada kok di banyak jurusan. Di program studi arsitektur, teknologi industri, dan beberapa yang lain, sudah diberikan kok,” tegas Ilah.

Untuk membuka jenjang pendidikan yang diinginkan MAPPI bukan perkara gampang. Harus dipenuhi sejumlah syarat. Pertama, kelayakan studi. Kedua, besarnya minat dan kepentingan bagi pengembangan keilmuan. Ketiga, satu program studi tidak boleh tumpang tindih dengan program lain. Ukurannya, jika suatu program memiliki 70 persen kesamaan kurikulum dengan program lain, maka pendirian tidak bisa dilakukan. Paling banyak kemiripan hanya 40 persen.

Syarat lain adakah ketersediaan tenaga pengajar bergelar magister. Lalu, program studi apparisal harus sudah memiliki buku ajar minimal 200 judul. Tentu saja, tak boleh dilupakan, syarat ketersediaan sarana dan prasarana pendukung seperti kelas, laboratorium, dan perpustakaan.

Meski demikian, kata Ilah, Ditjen Dikti tak menutup kemungkinan permintaan Hamid dan MAPPI dikabulkan. Masalahnya, kedua pihak belum pernah bertemu membicarakan hal ini. “Silahkan datang, kita duduk bersama untuk mendiskusikan permintaan ini,” pungkas Ilah.


Bagaimana MAPPI?